Wednesday, November 4, 2009

PENCIPTAAN JAGAT RAYA MENURUT HINDU DAN RESPON TERHADAP TEORI-TEORI ILMIAH BARU

Agak Panjang, siapkan waktu untuk membaca...


“In the beginning, there was but the Absolute Self alone.

Nothing else was. Brahman willed,

Let me create the world”



Aitareya Upaniṣad I.1.1.

Pendahuluan

Teori tentang penciptaan jagat raya bersumber kepada kitab suci Veda dan susastra Hindu. Kitab suci Veda merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terdiri dari kitab Ṛgveda, Yajurveda, Samaveda dan Atharvaveda. Masing-masing kitab itu disebut Samhita dan keempatnya disebut Catur Veda Samhita. Masing-masing Samhita tersebut memiliki kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan Upaniṣad yang jumlahnya cukup banyak. Seluruh kitab-kitab tersebut digolongkan ke dalam kitab-kitab Sruti atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Kitab-kitab Upaniṣad juga disebut kitab-kitab Vedānta atau bagian akhir yang merupakan semacam kesimpulan atau intisari Veda.

Di samping sumber utama tersebut di atas, sumber lainnya adalah kitab-kitab yang digolongkan ke dalam kitab-kitab susastra Hindu, yaitu kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata, juga kitab-kitab Purāṇa yang jumlahnya sebanyak 18 buah. Kitab-kitab tersebut menguraikan tentang penciptaan alam semesta, makhluk hidup di dalamnya dan bagaimana proses penciptaan tersebut terjadi. Khusus kitab-kitab Purāṇa, sampradaya atau kelompok keagamaan Hindu Vaiṣṇava memasukkannya ke dalam kitab Veda atau sruti, yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa dan meyakini mahārṣi Vyasa sebagai penyusun kitab-kitab tersebut juga sebagai avatara-Nya (Penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa).


Penciptaan menurut kitab suci Veda

Di dalam kitab suci Veda terdapat dua Sūkta (himne) yang secara khusus menguraikan tentang penciptaan jagat raya yang dikenal dengan sebutan Nasadiyasūkta dan Puruṣasūkta. Yang pertama menjelaskan asal atau kejadian alam semesta dan yang kedua merupakan dasar filosofis Veda yang menyatakan bahwa segala sesuatunya berasal dari Yajña, yakni pengorbanan Tuhan Yang Maha Esa yang mesti diikuti oleh umat-Nya sebagai usaha untuk menjaga kelangsungan dan harmoni alam semesta. Berikut dikutipkan terjemahan Nasadiyazūkta (Terjadinya Alam Semesta)(Ṛgveda X.129.1-7) tersebut.

‘Pada waktu itu, tidak ada mahluk (eksistensi) maupun non makhluk (non eksistensi); pada waktu itu tidak ada atmosfir dan juga tidak ada lengkung langit di luarnya. Pada waktu itu apakah yang menutupi, dan di mana ? Airkah di sana, air yang tak terduga dalamnya (1)’

‘Waktu itu, tidak ada kematian, pun pula tidak ada kehidupan. Tidak ada tanda yang menandakan siang dan malam. Yang Esa bernafas tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri. Bernafas menurut kekuatan-Nya sendiri. Di luar Dia tidak ada apa pun juga (2)’

‘Pada mula pertama kegelapan ditutupi oleh kegelapan. Semua yang ada ini adalah keterbatasan yang tak dapat dibedakan. Yang ada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tapas (tenaga panas) yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong (3)’

‘Pada awal mulanya keinginan menjadi bermanifestasi. Yang merupakan benih awal dan benih semangat. Para Ṛṣi setelah meditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara eksistensi dan non eksistensi (4)’

‘Sinar-Nya terentang ke luar, apakah ia melintang, apakah ia di bawah atau di atas. Kemudian ada kemampuan memperbanyak diri dan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya, materi gaib ke sini dan energi ke sana (5)’

‘Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui dan memapar-kannya di sini, dari manakah datangnya alam semesta yang menjadi ada ini? Orang-orang bijaksana lebih belakang dari ciptaan alam semesta ini, karena itu siapakah yang mengetahui dari mana munculnya (ciptaan) ini (6)’

‘Sesungguhnya Dia yang telah menciptakan alam semesta ini, serta mengendalikannya (di dalam kekuasaan-Nya). Dia yang mengawasi alam semesta ini berada di atas angkasa yang tak terhingga, sesungguhnya Dia mengetahui alam semesta ini seluruhnya dan Wahai Manusia! Janganlah mengakui eksistensi lain yang mana pun sebagai Pencipta alam semesta ini (7)’


Dari terjemahan mantram Ṛgveda di atas dapat diketahui pandangan yang mendasar tentang misteri dari alam semesta ini. Sūkta di atas menjelaskan tentang asal alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan asal dari alam semesta tersebut. Sūkta pertama menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kosong, tidak ada apa pun benda material. Sūkta kedua menjelaskan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang bernafas dengan kekuatan-Nya sendiri. Sūkta ketiga menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kekosongan, tidak ada sesuatu apa pun dan tanpa bentuk. Disebutkan pula dari pada-Nya tenaga panas (energi) muncul yang merupakan proses awal penciptaan. Dari keinginan-Nya muncul penciptaan dan hal ini dapat diketahui oleh para Ṛṣi yang bermeditasi kepada-Nya (Sūkta 4). Sūkta kelima menjelaskan terciptanya benih-benih kehidupan. Sūkta keenam dan ketujuh menjelaskan terjadinya alam semesta.

Klaus K. Klostermaier (1990:110) mengemukakan beberapa kata kunci untuk memahami proses penciptaan menurut Nasadiyasūkta di atas, yaitu: tapas, panas, kekuatan seorang Yogi (Ṛṣi) yang disebut sebagai yang bertanggung jawab pertama dalam proses penciptaan. Kama, keinginan atau dorongan nafsu (keinginan untuk mencipta) yang menyebabkan keserbaragaman dan yang melekat dalam ketidakabadian. V. Madhusudan Reddy (1991:186) menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa dengan kekuatan-Nya yang sangat unik dengan pemusatan pikiran, mewujudkan kekuatan anima (salah satu kekuasaan-Nya menjadikan diri-Nya sangat halus tidak tertangkap oleh indra penglihatan) menciptakan dunia dan alam semesta yang tidak abadi dan berbagai keserbaragaman. Tuhan Yang Maha Esa mengejawantah dalam berbagai hal, dan juga menjadi dasar yang mengatur semua, menyatukan dan mengharmonisasikannya, seperti dinyatakan dalam terjemahan mantra Ṛgveda V.81.2 berikut:



‘Tuhan Maha Pencipta, Yang memancarkan cahaya-Nya dalam berbagai wujud, dan yang selalu menganugrahkan kebajikan kepada semua ciptaan-Nya. Yang Maha Bercahaya menerangi jagat raya, sorga, dan selalu bercahaya di luar Fajar’.



Tuhan Yang Maha Esa yang memancarkan cahaya gemerlapan, menyinari segalanya dan memberikan kesadaran kepada alam semesta. Ia adalah api kedevataan, maha mengetahui dan merupakan nafas hidup dari jagat raya, yang tanpa batas, yang kekuatan tapa-Nya tiada habisnya, bagaikan mentega dan nektar keabadian. Lebih jauh di dalam Ṛgveda III.26.7 dinyatakan bahwa:



Segala sesuatunya merupakan ekspṚṣi pancaran Cahaya dari segala cahaya. Ia yang muncul dari keadaan Gelap (Malam Brahma). Ia yang sangat mengagumkan, Ia yang membentang sangat jauh dan mengejawantahkan diri-Nya.



Di dalam Ṛgveda I.113.1 dinyatakan bahwa alam semesta sebagai Wujud Yang Agung (Supreme Form). Hal tersebut merujuk kepada tiga kondisi Yang Maha Suci, yaitu status caratham, jagatas tasthusas dan amritam martyam, yakni yang tidak bergerak dan kekal abadi dan yang berubah-ubah, yang tidak terbatas dan yang terbatas, dan yang hidup abadi dan yang fana (Reddy, 1991:188).

Demikian pula dinyatakan bahwa kekuatan aktif yang bersinar terang benderang merupakan kuasa Tuhan Yang Maha Esa, bermanifestasi melalui hukum-Nya yang abadi, tercipta bersama dengan kausa material alam semesta, dari sana malam (sesudah alam tercipta berlangsung) diciptakan. Dari sana pula samudra atmosfir yang mengandung prinsip-prinsip kosmik menjadi terwujud (Ṛgveda X.190.1).

Berdasarkan uraian singkat di atas dapat dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa melalui kekuatan tapas, memancarkan energi (cahaya) dari kegelapan yang pekat dan kosong, kemudian atas kehendak-Nya berlangsung proses penciptaan yang berasal dari energi atau cahaya-Nya yang maha dahsyat tersebut.

Tentang penciptaan alam semesta lebih jauh dinyatakan dalam Puruṣasūkta (Yajña Tuhan Yang Maha Esa) (Ṛgveda X.90.1-16) yang terjemahannya dikutipkan sebagai berikut:



‘Puruṣa (Manusia Kosmos) berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu, memenuhi jagat raya, pada semua arah, mengisi seluruh angkasa (1)’



‘Sesungguhnya Puruṣa adalah semua ini, semua yang ada sekarang dan yang akan datang, Dia adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan (2)’



‘Demikian hebat kebenarannya. Dan Puruṣa bahkan lebih besar dari ini. Semua wujud ini adalah seperempat dari diri-Nya. Tiga perempat lagi adalah keabadian ada di sorga (3)’



‘Tiga perempat dari Puruṣa pergi membubung jauh. Seperempat lagi lagi berada di alam ini yang berproses terus menerus berselang-seling dalam berbagai wujud yang bernyawa dan yang tidak bernyawa (4)’.



‘Dari Dia Viraj (Dia Yang Bercahaya) lahir dan dari Virāj Dia kembali. Segera setelah Dia lahir Dia mengembang ke seluruh penjuru, mengembang mengatasi alam semesta (5)’



‘Ketika para Dewa mengadakan upacara kurban dengan Puruṣa sebagai persembahan, maka minyaknya adalah musim semi, kayu bakarnya adalah musim panas dan sajian persembahannya adalam musim gugur (6)’



‘Mereka mengorbankan sebagian korban pada rumput. Puruṣa yang lahir pada awal kejadian alam semesta. Pada Dia para Dewa dan semua Sadhya dan para Ṛṣi mempersembahkan kurban (7)’



‘Dari korban Puruṣa dipersembahkan keluarlah dadih dan mentega yang sudah bercampur. Kemudian Dia jadikan binatang-binatang yang padanya berbeda. Baik binatang buas maupun binatang jinak (8)’



‘Dari korban Puruṣa yang dipersembahkan, Ric (Ṛgveda) dan Sama (Samaveda) muncul. Dari Dia lahirnya metrik. Dari Dia lahirnya Yajus (Yajurveda) (9)’



‘Dari Dia lahirlah kuda dan binatang apa saja yang mempunyai gigi dua baris. Sapi lahir dari Dia. Dari Dialah lahirnya kambing dan biri-biri (10)’.



‘Ketika mereka menjadikan Puruṣa persembahan, menjadi berapa bagiankah Dia? Dan apakah mereka sebut paha kaki-Nya? (11)’



‘Dari mulut-Nya muncul Brahmana, dari lengan-Nya muncul Rajanya (Ksatriya), dari paha-Nya muncul Vaisya, dan Sudra muncul dari kaki-Nya (12)’



‘Bulan muncul dari pikiran-Nya, matahari dari mata-Nya, Indra dan Agni muncul dari mulut-Nya, dan Vayu dari nafas-Nya (13)’.



‘Dari pusar-Nya cakrawala ini muncul, dari kepala-Nya muncul langit, dari kaki-Nya muncul bumi, dari telingap-Nya lahir keempat penjuru mata angin, demikianlah Dia membentuk alam semesta ini (14)’.



‘Tujuh pagar kelilingnya upacara korban itu, tiga kali enam potong kayu bakar disiapkan, ketika para Dewa mempersembahkan upacara itu yang menjadikan Puruṣa sebagai kurban (15)’



‘Dewa-dewa dengan mengandakan upacara korban memuja Dia (Manusia Kosmos) yang juga merupakan upacara korban itu. Dia yang agung mencapai sorga yang mulia tempat para Sadhyas, Dewa-Dewa zaman dahulu (16)’



Puruṣasūkta adalah sebuah Sūkta (himne) yang menjelaskan kondisi sebelum penciptaan dan pengejawantahan-Nya. Kondisi tersebut merupakan dua kondisi berubah dan kekal abadi, jagatas tasthusas. Hal tersebut merupakan proses abadi yang dari padanya Ia Yang Tidak Terbatas menjadi terbatas. Sūkta tersebut merupakan perubahan bentuk yang direncanakan dari Wujud Manusia Tertinggi (Supreme Person) dan proses terciptanya alam semesta. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Sempurna dikenal oleh para mahārṣi (orang-orang suci). Mereka menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yang Bercahaya seperti cahaya ribuan matahari, yang terletak di samping Kegelapan. Pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Tunggal, dinyatakan oleh para mahārṣi yang membebaskan pencari kebenaran dari segala keterikatan dan menjadikannya kekal abadi (Reddy, 1991: 175).

Puruṣa bukanlah semata-mata Manusia Kosmos, tetapi juga merupakan aspek personal dari seluruh realitas. Konsep manusia meliputi esensi hubungan internal. Segala sesuatunya merupakan bagian dari Yang Esa dan unik yakni Puruṣa. Dari Puruṣa, Viraj, emanasi kedewataan yang pertama menampakkan diri dan berproses. Makhluk yang tidak terciptakan, yang keberadaan-Nya berfungsi sebagai media dalam proses penciptaan, meningkatkan dan juga turun kepada semua makhluk, dan juga kepada keseluruhan aktivitas, Dia juga mengandung aspek feminin, tidak hanya dalam kaitannya dengan gender, tetapi juga dalam hukum-Nya (Panikkar, 1989:73).

Menurut Puruṣasūkta di atas, Tuhan Yang Maha Esa sendiri yang mengorbankan diri-Nya untuk menciptakan jagat raya ini, yang penampakkan-Nya di alam semesta dalam wujud materi hanya seperempat bagian sedang tiga perempat lainnya tidak terjangkau oleh umat manusia. Seluruh jagat raya berasal dari pada-Nya melalui Viraj, proses alam semesta dan segala isi di dalamnya berlangsung. Proses penciptaan (sristi atau utpati) dan pemeliharaan (stiti) alam semesta ini berlangsung selama Tuhan Yang Maha Esa menghendakinya dan tentunya juga akan berakhir ketika Dia menghendakinya pula. Proses tercipta, terpelihara, dan peleburan (pralaya) kembali alam semesta berserta seluruh isinya disebut Trikona, tiga titik kulminasi yang berlangsung terus. Proses tersebut juga dinamakan lila atau krida Tuhan Yang Maha Esa. Menurut A.L.Basham (1992:3240 motivasi penciptaan seperti tersebut, yakni berupa lila atau krida dari Jiwa Alam Semesta dapat dianalogikan dengan hasil karya seni yang muncul dari pikiran seorang artis.

Di samping mantra-mantra tentang peenciptaan seperti telah disebutkan di atas terdapat juga mantra yang menjelaskan tentang bibit abadi berupa telur berwarna keemasan (Hiranyagarbha) yang kemudian dari pada-Nya terciptalah seluruh jagat raya seperti dinyatakan dalam Ṛgveda X.121.1 berikut:



Pada awalnya terlahirlah Hiranyagarbha, Dia yang demikian menunjukkan eksistensinya, menjadi raja dari semua makhluk, Dia yang menyangga bumi dan sorga.



Di dalam kitab suci Veda dijelaskan tentang awal penciptaan alam semesta ini dan yang pertama eksis adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, kemudian menjadikan diri-Nya sendiri sebagai Yajna dan kemudian berpikir “aham bahu syam”, “Saya ingin menciptakan yang banyak”. Sejak saat itu mulailah penciptaan alam semesta. Pertama-tama tercipta air. Di sanalah telur Hiranyagarbha berada. Telur itu kemudian pecah menjadi dua bagian, yaitu satu bagian menjadi bumi dan bagian yang lain menjadi angkasa. Segala proses penciptaan alam semesta baru dimulai setelah telur yang mengandung air itu pecah (Somvir, 2001:34-35).

Berdasarkan kutipan terjemahan mantra-mantra Veda di atas, maka penciptaan alam semesta menurut kitab suci Veda dimulai dengan tapas yang memancarkan cahaya (energi), selanjutnya Tuhan Yang Maha Esa berkehendak dan melaksanakan Yajña dan yang terakhir dari pada-Nya pula lahir bibit berupa telur keemasan (Hiranyagarbha) yang di alam semesta tampak plenet-planet yang demikian banyak jumlahnya berwujud sebagai telor dan berwarna keemasan.





Penciptaan menurut kitab-kitab Upaniṣad (Vedānta)

Seperti disebutkan di atas, kitab-kitab Upaniṣad juga disebut sebagai sruti (wahyu Tuhan Yang Maha Esa). Kitab-kitab Upaniṣad juga disebut kitab-kitab Uttara Mimaýúa atau Vedānta yang kemudian berkembang menjadi sistem filsafat yang artinya akhir dari Veda (vedasya antah), kesimpulan maupun tujuan Veda (Radha- krishnan, 1990:24). Di dalam kitab-kitab Upaniṣad, kata yang dipergunakan untuk mengartikan Yang Nyata Maha Tinggi, Ma Pencipta adalah Brahman. Kata ini berasal dari akar kata brh yang berarti berkembang, timbul atau muncul ke mana-mana. Kata turunannya berarti meluap ke luar, berbuih ke luar, perkembangan yang tidak habis-habisnya, brihattvam. Menurut Sankara, Brahman berasal dari akar kata brihati, melampaui, atisayana, kebadian, murni. Menurut Madhva, Brahman adalah oknum yang seluruh sifatnya ada dalam kesempurnaan, brihanto hy asmin gunah. Yang nyata bukanlah suatu abstraksi yang redup, melainkan sangatlah hidup dan dengan vitalitas yang kuat (Radhakrishan, 1990:52).

Di dalam Brihadaranyaka Upaniṣad (II.1.1-20) dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta semua makhluk. Itulah sesungguhnya yang harus dimengerti. Brahman adalah Satyasya Satyam. Yang Nyata dari Yang Nyata, sumber dari semua benda-benda yang ada. Di dalam Katha Upaniṣad (II.50) dinyatakan bahwa api setelah memasuki alam semesta mengambil semua bentuk. Di dalam Chandogya Upaniṣad (VI.8.4) dinyatakan bahwa api yang muncul pertama dari Makhluk Pertama, dan dari api muncullah air, dari air muncullah tanah. Pada saat peleburan kembali, tanah dilebur pada air, air pada api, dan api pada Makhluk Pertama.

Mandukya Upaniṣad menyatakan bahwa Brahman adalah catus-pat, berkaki empat atau memiliki empat azas, yaitu: Brahman (Impersonal), Isvara (Personal), Hiranyagarbha (bibit seperti telur berwarna keemasan yang melahirkan Brahmanda-Brahmanda, telor-telor Brahman atau planet-planet di alam raya) dan Viraj (energi yang bercahaya). Radhakrishnan (1990:65) menyatakan adanya empat macam status dari Yang Nyata Abadi, yaitu (1) Brahman Yang Mutlak, (2) Isvara, yakni Jiwa yang berkemampuan (Creative Spirit), (3) Hiranyagarbha (Jiwa alam semesta), dan (4) Alam Semesta.

Dalam perkembangan selanjutnya ketika kitab-kitab Upaniṣad dirumuskan menjadi sebuah sistem filsafat yang dikenal dengan nama Vedānta, maka muncullah kitab Vedāntasara atau Vedāntasutra yang disusun oleh mahārṣi Vyasa. Kitab ini diduga sudah ada sebelum 5.000 tahun yang lalu. Sekitar 5.000 tahun yang lalu muncul kitab Srimadbhagavatam atau Bhagavata Purāṇa yang memberi ulasan terhadap Vedāntasutra. Setelah itu kitab ini dijelaskan oleh beberapa acarya atau guru-guru suci. Ulasan Sankaracarya (sekitar abad delapan Masehi), merupakan ulasan dari perguruan impersonal dan monistik (advaita). Ulasan Ramanujacarya (sekitar abad sebelas Masehi) dari perguruan keesaan khusus (vasistadvaita).Ulasan Nimbarkacarya (sekitar abad dua belas sampai empat belas Masehi) adalah ulasan keesaan dan dualisme (dvaitadvaita) dan ulasan Madhvacarya (abad tiga belas Masehi) adalah perguruan dualisme (Bhaktisvarupa, 2003:4).

Menurut Bhaktisvarupa Damodara Svami (2003:35) Vedānta merupakan bentuk risalat ilmiah dan keagamaan yang paling maju dari warisan kultural dan spiritual India. Makna dasar dari kata Vedānta adalah pengetahuan kebenaran yang tertinggi. Vedānta tidak hanya merujuk kepada Vedāntasutra melainkan juga kepada semua pustaka Veda, yang menjelaskan kesimpulan-kesimpulan dari Veda, khususnya Bhagavadgìtā, Srimadbhagavatam, kitab-kitab Upaniṣad, dan lain sebagainya.

Di dalam sutra (aforisme) 1.1.2 dari Vedāntasutra dinyatakan: janmadyasya yatah, yang terjemahannya adalah: Brahman, Kebenaran Mutlak atau Tuhan Yang Maha Esa adalah yang dari Siapa penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan alam semesta ini berasal. Secara singkat dapat dinyatakan Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.

Perwujudan alam semesta ini sebagai energi material dipisahkan dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui Kala, waktu yang merupakan segi impersonal Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber asli dan sebab dari segala sesuatu sarva karana karanam. Dalam Bhagavadgìtā (X.8), Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krisna memberi tahu Arjuna, teman dan penyembah-Nya, “Akulah sumber dari semua dunia spiritual dan material. Segala sesuatu memancar dari-Ku (Bhaktisvarupa, 2003:52).





Penciptaan menurut kitab-kitab Purāṇa

Isi pokok kitab-kitab Purāṇa umumnya dikenal dengan Pancalaksana, yang terdiri dari: (1) Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus), (2) Pratisarga (penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta), (3) Manvantara (masa dan perubahan Manu-Manu pada setiap masa), (4) Vamsa (cerita dinasti raja-raja yang berkuasa di bumi, dan (5) Vamsanucarita (dinasti raja-raja & Ṛṣi-Ṛṣi dan raja yang akan datang). Dalam uraian ini dibatasi hanya pada sarga dan pratisarga sebagai berikut.

1) Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus)

Sarga adalah (proses) penciptaan (yang halus) berupa lima unsur (Panca Mahabhuta), obyek-obyek indriya, organ indriya dan pikiran, ego (ahamkara) dan prinsip kecerdasan kosmik (mahat), selanjutnya terganggunya keseimbangan dari sifat-sifat alam (guna/bhuta-matendriya-dhiyam janmasarga udaritah). Di kitab-kitab Purāṇa yang lain digambarkan sebagai “evolusi mahat, karena terganggunya keseimbangan Triguna selanjutnya mendorong yang tidak termanifestasikan, avyakrita, yakni unsur materi yang pertama atau Prakriti), dari tiga lapis Ahamkara (keakuan dari Mahat) dan (tiga lapis Ahamkara) dari 5 unsur alam (Bhuta), (sebelas) organ indriya (Panca Budhiriya, Karmendriya dan pikiran) dan obyek-obyek indriya. Penciptaan ada dua jenis, yaitu: (1). Alaukika (kedevataan) dan (2) Laukika (keduniawian). Penciptaan kedevataan merupakan penciptaan yang terdiri dari 33 devata, saat itu Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk Yajna-Varaha, mewujudkan diri-Nya sebagai seekor babi hutan untuk menyelamatkan dunia. Penggambaran penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai seekor babi hutan (yang membunuh raksasa Hiranyaksa) tidak lain maksudnya adalah untuk selamatnya umat manusia, dan hal ini juga menggambarkan ajaran Karma Marga (jalan perbuatan). Penciptaan Laukika (keduniawian), dimaksudkan adalah penciptaan yang menggambarkan evolusi dari alam semesta yang terdiri dari 28 unsur, empat unsur materi/alam (bhuta) dan waktu (kala). Episode yang menguraikan ajaran Kapila (dan istrinya) dalam kitab Bhagavata Purāṇa menggambarkan jalan pengetahuan (Jnana Marga)(Tagare, Vol. Part 5, 1989: XXIV).

Di dalam kitab Bhagavata Purāṇa (XII.7.11) diuraikan sepintas tentang penciptaan ini ke dalam beberapa topik antara lain evolusi Mahat (prinsip dasar dari kecerdasan kosmik), dari bergejolak dan terganggunya keseimbangan dari Triguna yang belum termanifes (Prakriti, unsur materi/bahan yang permulaan), memimpin evolusi Triguna selanjutnya (tipe-tipe Vaikarika atau Sattvika, Rajasa dan Tamasa, tergantung dari dominasi masing-masing guna), evolusi berlaut pada unsur-unsur alam (bhuta), alat indriya, dan obyeknya (seperti unsur yang kasar dan devata yang bersemayam pada masing-masing organ indriya (Loc.Cit).

Lebih jauh tentang penciptaan ini digambarkan dalam kitab Agni Purāṇa (17.1-16), sebagai berikut:

Agni bersabda:

Aku akan menjelaskan sekarang penciptaan alam semesta, yang merupakan dari krida (lila) Sang Hyang Visnu (dalam Samkhya disebut Brahma). Beliaulah yang menciptakan sorga dan lain-lain. Pada permulaan ciptaan dan dilengkapi dengan sifat-sifat dan tanpa sifat-sifat (1).

1) Brahma, yang tidak menampakan diri, sesungguhnya Yang Ada. Saat itu tidak ada langit, siang atau malam, dan lain-lain. Sang Hyang Visnu masuk ke-dalam Prakriti (unsur materi) dan ke dalam Puruṣa (unsur kesadaran) dan menggerakkannya (2).

2) Pada saat penciptaan yang pertama kali terpencar adalah intelek (kecerdasan budi/mahat). Kemudian terwujudlah ego (ahamkara), selanjutnya disusul pertama dari keadaan natural (Vaikarika), kilauan cahaya (taijasa) unsur-unsur alam, dan sebagainya dan kegelapan (tamasa/yang menciptakan kebodohan (3).

3) Kemudian meluaplah ether (akasa) yang merupakan unsur dasar suara (sabda) dari ego (ahamkara). Kemudian angin (vayu) merupakan unsur dasar sentuhan (sparsa) dan api (teja) sebagai unsur dasar warna (rupa) menjadi ada dari padanya (4).

4) Air (apah) sebagai unsur dasar rasa (rāsa/menjadi ada) dari padanya. Tanah (prithivi) sebagai unsur bau (gandha). Dari kegelapan lahirlah ego, indriya (menjadi ada) yang nampak berkilauan (5).

5) Evolusi selanjutnya adalah terciptanya 10 kahyangan dan pikiran, sebelas indriya selanjutnya munculah Sang Hyang Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), yakni Sang Hyang Brahma yang berkeinginan menciptakan berbagai tipe mahluk hidup (6).

6) Sang Hyang Brahma menciptakan air yang pertama. Air berhubungan dengan (disebut) sebagai narah, karena hal itu merupakan ciptaan spirit yang Tertinggi (7).

7) Dari pergerakkannya yang pertama dari semuanya itu, karenanya Ia disebut Narayana. Kemudian tergeletak (mengambang) telur di atas air yang warnanya keemasan (8).

8) Dari pada itu, Sang Hyang Brahma lahir dengan keinginannya sendiri, oleh karenanya kita mengenal sebagai yang lahir dengan sendirinya (Svayambhu). Hidup (di dalamnya) sepanjang tahun, karenanya disebut Hiranyagarbha, kemudian menjadikan telur itu dua bagian, yaitu menjadi sorga dan bumi. Di antara kedua bagian itu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan langit (9-10).

9) Sepuluh penjuru menyangga bumi yang mengambang di atas air. Kemudian Sang Hyang Prajapati (Brahma yang merupakan pencipta mahluk hidup dan alam semesta) berkeinginan mencipta, menciptakan waktu, pikiran, perkataan, keinginan, kemarahan, keterikatan dan yang lain-lain. Dari cahaya Ia menciptakan petir dan mendung, bianglala, dan burung-burung. Ia pertama menciptakan Parjanya (Indra, dewa hujan). Kemudian menciptakan Ṛgveda (Rcah), Yajurveda (Yajumsi), dan Samaveda (Samani) untuk menyelesaikan Yajña-Nya (11-13).

10) Mereka yang ingin menyelesaikan (Yajña), memuja para devata dengan (merapalkan) mantra-mantra tersebut. Mahluk hidup yang tinggi dan rendah diciptakan-Nya. Ia menciptakan Sanatkumara dan Rudra, yang lahir dari kemarahan-Nya (14).

11) Kemudian Ia menciptakan para Ṛṣi Marici, Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Vasistha, yang diyakini sebagai putra-putra yang lahir dari pikiran Sang Hyang Brahma (15).

12) Oh, Yang Mulia! Para Ṛṣi tersebut melahirkan (banyak) mahluk hidup, membagi diri-Nya atas dua bagian, separo menjadi laki-laki dan saparoh lagi menjadi perempuan. Selanjutnya Brahma melahirkan anak-anak-Nya melalui separoh bagiannya yakni bagian yang perempuan (16/Gangadharan, Vol.27, Part I, 1984: 39-41).

Pada bagian lain, kitab Agni Purāṇa (20.9.1-8) menjelaskan lebih terperinci proses penciptaan alam semesta yang digambarkan sebagai berikut:

1) Ciptaan pertama adalah intelek atau kecerdasan budi (mahat) dari Brahma. Ciptaan yang kedua adalah unsur materi yang sangat halus (tanMatra) yang dikenal dengan nama Bhutasarga (penciptaan elemen alam semesta/pañca mahabhuta (1).

2) Ciptaan yang ketiga adalah evolusi (vaikarikasarga) yakni penciptaan organ indriya (aindriyasarga). Ciptaan tersebut adalah ciptaan pertama (prakritasarga) yang ke luar dari intelek (kecerdasan budi) (2).

3) Ciptaan yang keempat adalah ciptaan dasar/utama (mukhyasarga). Sesuatu yang tidak bergerak dikenal sebagai dasar (penciptaan). Penciptaan kelima disebut penciptaan kualitas yang lebih rendah (tiryaksrota) yang dinamakan sebagai ciptaan mahluk di bawah manusia (seperti binatang, burung-burung, dan lain-lain (3).

4) Ciptaan yang keenam adalah mahluk-mahluk yang lebih tinggi (urdhvasrota) dikenal sebagai ciptaan kahyangan. Penciptaan yang ketujuh disebut ciptaan menengah (arvaksrota), yakni terciptanya umat manusia (4).

5) Ciptaan yang kedelapan adalah Anugrahasarga (kasih sayang devata), disusun dari karakter (Sattvika dan Tamasika). Kelima ciptaan yang terakhir dikenal dengan Vaikritasarga (ciptaan subyek yang akan berubah). Ciptaan yang kesembilan disebut Kaumarsarga (penciptaan Sanatkumara, dan lain-lain). demikianlah sembilan ciptaan sang Hyang Brahma yang merupakan dasar terciptanya alam semesta (5-6).

6) Bhrigu dan lain-lain mengawini Khyāti dan putri-putri yang dari Daksa. Ciptaan terdiri dari tiga jenis disebut orang, yaitu yang selalu (biasa) berlangsung (nitya), penciptaan yang menimbulkan ciptaan yang lain (naimittika) dan yang berlangsung setiap hari (dainandinì). Ciptaan yang sedang berlangsung ketika masa peleburan disebut Dainandinì. Penciptaan yang selalu berlangsung (tiada hentinya) disebut nitya (7-8).

Teori penciptaan alam semesta (sarga) yang dikenal dengan sembilan ciptaan Sang Hyang Brahma diuraikan pula secara sistematis dan terinci dalam kitab Brahmanda Purāṇa, yang dapat diringkas (direkapitulasi), sebagai berikut.

1) Ciptaan pertama

(1). Mahat (ciptaan kesadaran yang tinggi)

(2). Tanmatra (ciptaan disini disebut juga Bhutasarga)

(3). Vaikarika (ciptaan Aindriyasarga)

Seluruh ciptaan di atas adalah ciptaan Prakrita (dari kata Prakriti), sebagai

awal ciptaan.

1) Penciptaan yang kedua

(4). Mukhyasarga (ciptaan yang tidak bergerak)

(5). Tiryaksrota (ciptaan mahluk rendahan dan binatang)

(6). Urdhvasrota (ciptaan berupa dewa-dewa dan mahluk-mahluk sorga).

(7). Arvaksrota (ciptaan umat manusia)

(8). Anugrahasarga (baik Sattvika maupun Tamasika)

Kelimanya (4-8) tersebut di atas disebut Vaikrita (ciptaan kedua) dan fungsi mereka tanpa kesadaran atau bagian depan (sebelum) pengetahuan (a-budhi-purvaka).

2) Penciptaan (setelah) kedua (?)

(9). Kaumarasarga (penciptaan putra-putra yang lahir dari pikiran). Ketika Sanatkumara dan yang lain-lain menjadi seorang Yogi dan tidak melahirkan putra-putra, Sang Hyang Brahma (I.1.5.70-76) menciptakan putra-putra yang lahir dari pikiran-Nya kembali, maka lahirlah: Bhrigu, Angirasa, Marìci, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha dari berbagai bagian badan-Nya (Tagare, Vol.22, Part I, 1993: XXXIV).

G. V. Tagare dalam terjemahan kitab Vayu Purāṇa, pada bagian kata pengantarnya (XXIII) menyatakan bahwa tentang penciptaan alam semesta (Sarga) bahwa di dalam kitab-kitab Purāṇa ditemukan tiga teori tentang penciptaan alam semesta, yakni (1). Teori Samkhya-Vedānta, (2). Teori Purāṇa dan (3). Teori Samkhya. Berikut dijelaskan ketiga teori tersebut:

1) Teori Samkhya-Vedānta. Penciptaan mulai dengan prinsip dasar yang disebut Mahat dan berakhir dengan Visesa, yakni perbedaan antara lima unsur yang sangat halus dan yang kasar (kasat mata) yang disebut Pañca Mahabhuta dan Pañca Tanmatra. Sumber alam semesta adalah Brahman yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir, tidak dilahirkan, dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Pada awalnya adalah kegelapan dan Ia yang meresapi seluruh alam semesta yang diselubungi dalam kegelapan (Ia yang tidak termanifest), saat itu Guna dalam keadaan seimbang. Brahman juga disebut Atman. Pada awal penciptaan Ksetrajña (Devata Tertinggi) memimpin Pradhana, menggerakkan Guna dan prinsip dasar Mahat berkembang. Ketika Guna Sattva menjadi sangat dominan di dalam Mahat, unsur spirit yang sangat halus pada jasmani berkembang dan dipimpin oleh Ksetrajña. Kitab-kitab Purāṇa memberikan etimologi yang populer dari sinonim Brahman, Ksetrajña, dan lain-lain, semacam Samanvaya dan perbedaan istilah dan teori. Ketika Mahat didorong (oleh keinginan Tuhan Yang Maha Esa), terciptalah alam semesta yang besar, Samkalpa (kekuatan pikiran) dan Adhyavasaya (kebulatan/tekad) dalam 2 tendensi (Vritti-dvayam/ I.1.4,16). Teori sintese Samkhya-Vedānta tentang penciptaan ini dapat dijumpai dalam beberapa Purāṇa, antara lain: Agni Purāṇa XVII.2-26, Brahmanda Purāṇa I.1.3.6, dan Kurma Purāṇa I.2.3.

2) Teori Purāṇa. Ksetrajña disebut Brahma yang bangkit dari telur kosmos. Ia adalah mahluk yang pertama mengambil wujud (yang berwujud pertama kali). Ia pencipta dari seluruh Pañca Mahabhuta (baik unsur material maupun mahluk hidup). Hiranyagarbha (Brahman) dalam empat wajah adalah Ksetrajña, baik pada saat penciptaan maupun pada saat Pralaya (penghancuran) alam semesta. Telur kosmos terdiri dari tujuh dunia, bumi dengan tujuh benua, samudra-samudra dan segala sesuatunya termasuk matahari, bulan, bintang-bintang, Loka (Saptaloka) dan Aloka (Saptapatala). dari luar telur kosmos ini dilapisi oleh tujuh lapisan (I.1.1.44-45). Empat yang pertama terdiri dari 4 elemen, yaitu: air, api, angin dan ether (akasa), masing-masing selubung 10 kali lebih besar dibandingkan selubung yang pertama (sebelumnya/yang ditengahnya) dan tiga selubung lainnya terdiri dari Bhutadi, Mahat dan Pradhana yang tidak termanifest. Avyakta (yang tidak termanifest) disebut Ksetra dan Brahma disebut Ksetrajña. Prakrita-sarga dipimpin oleh Brahma. Penciptaan berlangsung tanpa pra-rencana (abuddhipurvaka) seperti halnya kerdipan cahaya (I.1.4.68.-78).

3) Teori Samkhya. Teori Vedānta, Samkhya dan Purāṇa dipadukan dalam teori ini. Analisis yang terang ditunjukkan bahwa Prakrita Sarga adalah penciptaan dari Prakriti. Teori Samkhya yang teistik dapat lebih dijelaskan secara lebih ekplisit dinyatakan dalam uraian (II.5.104) sebagai berikut: “Sebelum penciptaan alam semesta adalah kondisi laya (keseimbangan) dari semua Guna. dalam wujudnya yang Avyakta (tidak termanifestasi), secara potensial terbentang seperti minyak susu (ghee) di dalam susu. Tuhan Yang Maha Agung, dengan kekuatan Yoga-Nya, menciptakan ketidak-seimbangan dari Tri Guna dan terciptalah Tiga Devata Utama (Tri Murti), Brahma (dari Rajas), Api atau Rudra (dari Tamas) dan Visnu (dari Sattva). Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa yang membagi diri-Nya ke dalam 3 fungsi utama itu”.

Dari kutipan di atas, maka jelaslah bagi kita teori evolusi yang tercantum dalam kitab-kitab Purāṇa rupanya merupakan perpaduan antara teori penciptaan alam semesta menurut kitab suci Veda (Brahmana dan Upaniṣad/Vedānta) dan sistem filsafat Hindu Samkhya.

2) Pratisarga (penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta)

Penciptaan alam semesta tidaklah sebuah kenyataan yang permanen (kekal), semua ciptaan akan berakkhir pada masa penghancuran yang selanjutnya berulang pada masa penciptaan kembali. Demikianlah, dalam kitab-kitab Purāṇa diuraikan beberapa macam penghancuran besar dan kecil (Shastri, Vol.3, Part I, 1990:XXI).Di dalam kitab-kitab Purāṇa dinyatakan sebuah penghancuran total terjadi pada setiap hari Brahma yang lamanya sama dengan satu Kalpa, satu periode yang lamanya 432 juta tahun manusia. Satu Kalpa terdiri dari 14 Manvantara. Jadi satu hari Brahma sama dengan satu Kalpa terdiri dari 14 kali penghancuran. Tetapi penghancuran tersebut tidak merupakan penghancuran total, melainkan parsial. Pada akhir Manvantara (akhir Manvantara yang ke-14), sama dengan sehari Brahma dan hal itu merupakan satu Kalpa, yang sama dengan sebuah penghancuran yang besar. Hal itu juga merupakan sebuah penghancuran yang lengkap ketika Brahma mengakhiri kehidupan-Nya. Sebelum penghancuran ini (Prakritaprakaya), mahluk hidup dan benda-benda yang bergerak dan yang tidak bergerak, para devata, Asura, ular-ular, raksasa, dan lain-lain semuanya hancur lebur. Segala sesuatunya itu lenyap danm kembali kepada Prakriti yang masuk dan tersembunyi ke dalam devata tertinggi Sang Hyang Siva. Sang Hyang Siva sendiri yang bertahan, tidak ada mahluk apapun di mana-mana (Linga Purāṇa I.85.7-8).

Ketika awal penciptaan kembali setelah masa penghancuran, Sang Hyang Siva tampil dalam 2 wujud, yaitu berupa Prakriti dan Atman. Sang Hyang Visnu mengambil wujud sebagai Prakriti dan terletang dalam sikap seorang yogi (yoganidra) di tengah-tengah air. Selanjutnya Brahma lahir dari sebuah bunga padma yang muncul dari pusar Sang Hyang Visnu. Brahma meminta Sang Hyang Siva untuk memberikan kekuatan untuk menciptakan kembali alam semesta bersama seluruh isinya (Ibid., I.85. 10-11)

Kitab Kurma Purāṇa menyebut Pratisarga dengan Pratisañcara dan menguraikan dua versi yang berbeda, satu menunjukkan pengaruh Vaiṣṇava dan yang lain menunjukkan pengaruh Saiva. Terdapat 4 macam penghancuran (laya), yakni: Nitya, Naimittika, Prakrita dan Atyanta. Nitya adalah ketidak munculannya sehari-hari dari bumi ini dalam kegelapan dan Atyantika adalah persatuan tertinggi dan terakhir dari setiap roh individu ke-dalam alam Visnu melalui pengetahuan spiritual. Dalam tiap Pralaya ini, roh individu tidak kembali lagi menjelma dari alam baka. Naimittika Pralaya mengambil tempat pada akhir setiap Kalpa. Pada saat itu, terjadi kekeringan yang mengerikan selama ratusan tahun dan semua samudra menguap yang menjadikan panas matahari sangat kejam. Api kehancuran meledak dan membakar habis segalanya dan Sang Hyang Visnu (Prajapati) dalam wujud sebagai seorang Yogi dalam posisi tidur (Yoganidra) untuk satu Kalpa lamanya. Terdapat beberapa jenis Kalpa (Kurma II.45). Prakrita Pralaya datang setelah dua tahun parardha. Sang Hyang Mahadeva berwujud api yang memusnahkan dan membakar seluruh jagat raya termasuk para devata Brahma, Visnu dan Siva (tiga devata ini lebih rendah tingkatannya dibanding dengan Tuhan Yang Maha Agung). Menggunakan hiasan karangan bunga dari tengkorak manusia, Mahadeva menunjukkan tarian Tandava. Devi (pasangannya) masuk ke dalam tubuh Sang Hyang Mahadeva dan proses penarikan kembali semua unsur Pañca Mahabhuta berlangsung, unsur Prithivi (tanah) bersama dengan Guna (seperti bau) menyatu ke dalam unsur air dan seterusnya, sampai segala sesuatunya lebur dan bersatu ke dalam Mahat, yang akhirnya kembali ke dalam diri Sang Hyang Mahadeva. Pradhana dan Puruṣa kembali terpisah, saat itu terjadi keseimbangan unsur Tri Guna dari Prakriti (Kurma I.5.19, II.45. dan 46, 1-25).

Proses peleburan dan penciptaan kembali dapat pula kita jumpai dalam Visnu (I.7.41-43; VI.3.2) dan Brahmanda Purāṇa (II.4.132-190, II.4.3.1-24; II.4.1.1311). Berikut kami kutipkan penjelasan tentang proses peleburan dan penciptaan kembali menurut kitab Brahmanda Purāṇa.

(1) Nitya Pralaya (yang biasa) yakni segala sesuatu yang terjadi setiap hari seperti hidup dan matinya semua mahluk.

(2) Naimitika Pralaya (secara periodik), mengambil bagian pada akhir sebuah Kalpa, yakni pada akhir satu set ribuan (Catur) Yuga. Sang Hyang Brahma memulai menarik semua unsur alam semesta ke dalam diri-Nya. Terjadi kekeringan yang berkelanjutan ratusan tahun lamanya, matahari dengan 7 pancaran sinarnya membakar segala sesuatu dan semua samudra menguap. Api Samvartaka membakar Catur Loka (Bhur, Bhuvah, Svah dan Mahat). Selanjutnya mendung Samvartaka menebarkan hujan yang sangat deras dan s egala sesuatu yang bergerak dan tidak bergerak hancur lebur menjadi satu dalam bentuk samudra luas membentang dan Sang Hyang Brahma berwujud ribuan mata, ribuan kepala menyatu padu dan tertidur nyanyak untuk seribu set Catur Yuga (siang dan malamnya Brahma) (II.4.132-190). Pada akhir malamnya Brahma, Ia bangkit kembali dan kembali mencipta. Siang dan malam Brahma, yang merupakan satu hari Brahma disebut Visesakalpa (Ibid. 190-210).

(3) Prakritika Pralaya terjadi pada saat berakhirnya periode Brahma. Ketika itu berlangsung Pratyahara (tertariknya seluruh alam semesta) dalam waktu yang singkat, Bhuta (unsur materi yang kasar dan halus) langsung lenyap, evolusi Prakriti mulai dengan Mahat dan berakhir dengan Visesa hancur lebur. Air menelan sifat tertentu seperti bau di bumi, api di dalam air meluap sampai ke Akasa, yang kemudian bersatu ke dalam Bhutadi. Dalam hal ini, evolusi Prakriti menelan semua yang lebih rendah, sampai Mahat menyatu ke dalam Gunasamya (keseimbangan Guna). Hanya Atman yang tersisa. Proses leburnya kembali prinsip dasar (Tattvasamya) berulang-ulang kembali (Bhagavata II.4.3.1-24).

(4) Atyantika Pralaya bila seseorang mampu membebaskan dirinya melalui pengetahuan spiritual. Ia tidak mengambil wujud apapun, seperti halnya kecambah (tidak pernah muncul ke luar) ketika benih terbakar (Ibid.80-84). Hal ini disebut penghancuran jalan spiritual (II.4.1.131)(Tagare, Vol. 22. Part I, XXXV).

Berdasarkan uraian tersebut, proses Pralaya dalam kitab-kitab Purāṇa pada prinsipnya sama, dalam beberapa hal terjadi perbedaan namun hal tersebut tidaklah demikian penting dan teori tersebut sangat dekat dengan ajaran filsafat Samkhya dan Vedānta. Lebih jauh tentang penciptaan alam semesta, Sri Sathya Sai Avatar (2001:30) menyatakan: “There was no one to know who I am...... Till I created this world at my pleasure..... With one word....”. Dari Omkara muncullah unsur-unsur alam yang disebut Panca Mahabhuta, yaitu yang pertama adalang ether. Dari ether muncul udara, dari udara muncul api, dari api muncul air, dari air terciptalah bumi. Dari pusat Omkara munculah Kebenaran dan seluruh jagat raya ada dalam Keagungan dan Kemuliann-Nya. Dari samudra universal mucul Waktu (Kala) yang menguasai setiap saat. Yang mengatur siang dan malam. Selanjutnya, seperti sebelumnya. Tuhan Maha Pencipta menciptakan matahari, bulan dan sorga, dan bumi. Di bumi segera saju muncul gunung-gunung, segera juga muncul sungai-sungai yang mengalirklan airnya. Bumi posisinya di bawah dan angkasa di atas. Terciptalah samudra-samudra dan lautan-lautan, tanah dan batas air, matahari, bulan dan pasir di gurun. Dia menciptakan angkasa, bumi dan sorga di luar itu dan air di bawah. “To prove my existence...... came all forms.......beasts.....and birds flying.....human beings......mankind......speaking ......hearing......And all powers.......were bestowed upon them under my orders”. “The fist place was granted to mankind and My knowledge was placed in his mind”. Yang terakhir ini kiranya berkaitan dengan God Spot yang terdapat pada bagian otak manusia.

Respon Hindu Tentang Penciptaan Terhadap Teori-Teori Ilmiah Baru

Kebanyakan teori sains modern mengenai asal mula alam semesta didasarkan pada konsep Big Bang (ledakan besar) dan variasinya. Teori ini pertama-tama disusun pada tahun 1927 oleh seorang pendeta Belgia yang bernama Georges Lamaitre. Gagasan utama dari Big Bang adalah bahwa seluruh jagat raya diledakkan dari suatu keadaan padatan yang tak terbatas, pada tingkatan suhu dan tekanan yang sangat tinggi. Akibatnya, alam semesta terpecah-pecah dan mengalami pendinginan. Para pendukung teori Big Bang menjelaskan bahwa pada suatu tingkat ekspansi tersebut terwujudlah berbagai partikel sub-atom. Setelah itu elemen-elemen cahaya seperti hidrogen dan helium terbentuk diikutim oleh elemen-elemen berat. Dengan terbentuknya elemen-elemen, tidak ada elektron bebeas yang tersisa yang memancarkan foton cahaya dan jagat raya ini menjadi transparan untuk radiasi, yang diamati sekarang sebagai latar belakang kosmik (Bhaktisvarupa, 2003:39).

Teori penciptaan alam semesta Big Bang ini adalah teori yang sangat terkenal. Teori ini semakin mendapat dukungan dari berbagai kalangan ilmuwan karena menunjukkann bukti-bukti yang sangat kuat dan dapat diterima secara meluas. Bahkan banyak kalangan agamawan akhirnya mendukung teori ini. Pengajuan teori ini didasarkan pada kenyataan bahwa alam semesta ini sekarang sedang mengembang. Pengamatan telah dilakukan dengan teleskop Hubble milik Amerika Serikat. Sebagai catatan teleskop Hubble diluncurkan oleh NASA pada 1990. Setahun kemudian, 1991 menyusul telekop Compton yang lebih canggih, bisa mendeteksi pancaran sinar Gama. Dan tahun 2003 NASA meluncurkan teleskop Spitzer yang bisa mendeteksi sinar infra merah. Data dari teleskop yang sangat canggih itu mencatat bahwa ternyata semua benda langit sedang bergerak saling menjauhi. Dan itu terjadi secara merata di berbagai penjuru langit. Jadi kalau kita melihat ke ‘atas’, maka diperoleh dasta bahwa benda-benda langit itu saling menjauhi. Demikian puka kalau kita melihat ke arah ‘bawah’ benda-benda langit pun bergerak saling menjauhi. Begitu pula bila kita melihat langit sebelah kiri dan kanan, semuanya sama, benda-benda langit bergerak saling menjauhi. Maka hanya ada satu kesimpulan, yaitu: alam semesta ternyata sedang mengembang. Bila demikian adanya, maka berarti, dulu alam semesta ini berukuran lebih kecil dibandingkan dengan sekarang. Atau dengan kata lain benda-benda langit berada pada posisi lebih dekat. Dan jika kita runut lebih ke belakang lagi, benda-benda langit itu dalam posisi sangat dekat. Dan akhirnya, sekian miliar tahun yang lalu, semua benda langit berada dalam satu tempat. Di pusat alam semesta. Seluruhnya dimampatkan ke dalam satu titik. Betapa dahsyatnya pemampatan itu, karena material yang tak berhingga besarnya ditambah dengan energi yang sangat besar tak terkira ‘dipakska” berada dalam titik yang sama. Seperti sebuah pegas yang ditekan, maka dia cenderung akan melawan untuk melenting menuju posisi seimbangnya (Mustofa, 2005:54).

Teori Big Bang mengatakan bahwa alam semesta yang dikompres ke dalam satu titik itu lantas menjadi tidak stabil, dan meledak dengan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Sehingga seluruh material cikal bakal alam semesta itu terhambur ke segala penjuru langit, itulah saat penciptaan alam semesta dimulai. Kejadian itu, diperkirakan oleh para pakar astronomi terjadi sekitar 12 miliar tahun yang lalu. Dalam kurun waktu 12 miliar tahun itulah alam semesta mengalami pendinginan secara berangsur-angsur. Dalam masa itu juga tercipta berbagai benda langit secara bertahap, seperti nebula, galaksi, matahari, planet dan satelit. Akibat ledakkan itu seluruh alam semesta mengembang. Bagaikan balon udara yang sedang ditiup (Mustofa, 2005:55).

Ada beberapa tahapan proses penciptaan alam semesta ini.

1) Tahap pertama adalah ketika alam semesta berupa cikal bakalnya yang disebut sebagai Sop Kosmos. Pada tahapan tersebut cikal bakal alam semesta itu berada dalam kondisi yang sangat labil disebabkan tempratur dan tekanan yang sangat tinggi. Zat yang ada di dalam Sop Kosmos itu tidak bisa didefinisikan sesuai dengan ragam zat yang ada sekarang. Dia bukan zat padat, bukan zat cair, juga bukan gas. Semacam kumpulan energi yang sangat ekstrim. Sebab semua material dan energi di alam ini dikompres ke dalam sebuah titik yang berukuran hampir nol, di mana ruang dan waktu juga berada di dalamnya. Semuanya terdapat dalam cikal bakal alam semesta dalam ukuran ‘Hampir Tiada’. Bahkan ada yang berpendapat bahwa cikal bakal itu sebenarnya adalah sebuah ‘Ketiadaan Mutlak. Alam semesta ini muncul dari ‘Tidak Ada’ menjadi ‘Ada’ lewat sebuah ledakan mahadahsyat. Sebelum itu, ruang tidak ada. Waktu pun tidak ada. Demikian pula materi dan energi. Yang ada hanya Ketiadaan Mutlak (Mustofa, 2005:56).

Tahap pertama teori Big Bang di atas bahwa alam semesta ini muncul dari ‘Tidak Ada’ menjadi ‘Ada’ lewat sebuah ledakan mahadahsyat. Sebelum itu, ruang tidak ada. Demikian pula materi dan energi. Yang ada hanya ‘Ketiadaan Mutlak’ sejalan dengan teori penciptaan menurut NasadiyaSūkta, kitab suci Ṛgveda (X.129.1-7) di atas. Teori Big Bang hampir sama dengan proses Pralaya (peleburan kembali) menuju Sristi atau Utpati (proses penciptaan).

2) Tahap kedua adalah sesaat setelah ledakan terjadi. Pada detik pertama, suhu alam semesta turun menjadi 10 pangkat 10 derajat Kelvin. Ini sama dengan suhu di pusat matahari. Atau sama dengan suhu di bintang yang paling panas. Dan beberapa jam kemudian, mulailah terbentuk partikel-partikel elementer pembentuk alam semesta. Dan kemudian tercipta atom-atom bermassa rendah seperti Hidrogen dan Helium (Mustofa, 2005:56). Tahap kedua ini tampak seperti proses terciptanya Panca Tanmatra (lima unsur halus yang tidak dapat diukur) yakni: Gandha (unsur bau), Rasa (unsur rasa), Rupa (unsur panas), Sparsa (unsur air) dan Sabda (unsur suara) yang nantinya memadat menjadi Panca Mahabhuta (lima unsur) yang lebih padat, yakni: Prathivi (tanah), Teja (api) Vayu (udara), Apah (air), dan Akasa (ether).

3) Tahap ketiga, selama jutaan tahun kemudian, alam semesta tidak mengalami perubahan yang berarti. Akan tetapi terus menerus mengembang ke segala penjuru. Puluhan jenis unsur alam semesta terbentuk. Ruang alam semesta semakin membesar. Waktu pun ikut bergerak maju (Mustofa, 2005:56). Proses tersebut sangat dekat maknanya dengan proses sthiti, yakni stabilnya alam semesta namun bergerak terus pada porosnya.

4) Tahap keempat, selama kurun waktu miliaran tahun kemudian, terbentuklah benda-benda langit akibat pengelompokkan atom-atom dan molekul-molekul yang bersenyawa. Pada pembentukan generasi pertama, terciptalah bintang-bintang atau gugusan bintang dari material yang memang hanya ada di waktu itu, yaitu Hidrogen dan Helium. Hidrogen dan Helium ini masih tersisa di dalam matahari maupun bintang-bintang di jagad semesta. Dan setiap saat terjadi perubahan empat atom Hidrogen menjadi satu Helium sehingga menghasilkan panas jutaan derajat. Dan kemudian, panas itulah yang menghidupi ‘planet-planet’ yang mengorbit di sekitar matahari. Termasuk di dalamnya adalah bumi. Tanpa matahari, planet bumi tidak bisa memunculkan kehidupan. Allah menciptakan matahari agar di bumi terjadi kehidupan. Jika, suatu ketika, matahari padam, maka bumi pun ikut ‘mati’. Dan matahari memang akan mati di suatu saat nanti, sekian ratus juta tahun ke depan. Kenapa begitu? Ya, karena matahari itu sebuah tabung ‘gas’ yang sangat besar, namun terus-menerus mengalami penurunan jumlahnya akibat terbakar terus menerus. Reaksi yang terjadi di dalam matahari itu disebut sebagai reaksi termonuklir alias reaksi fusi. Lama kelamaan atom Hidrogennya habis, yang ada hanya atom Helium. Maka berhentilah proses pembakaran di sana. Dan matahari itu pun padam. Matahari kita tersebtuk sekitar 5 miliar tahun yang lalu. Dia termasuk kelompok matahari generasi kedua, karena di dalamnya ditemukan gas-gas yang memiliki massa lebih besar dari Hidrogen dan helium. Sekitar 2 persen massa matahari ternyata mengandung Oksigen dan Carbon (Mustofa, 2005:56-57). Tahap keempat ini tampak seperti terciptanya Brahmanda-Brahmanda (telur Brahman, yakni planet-planet di jagat raya) dan matahari disebut sebagai yang terbesar dan yang memancarkan cahaya yang sangat besar di antara Brahmanda-Brahmanda tersebut. Di dalam Veda matahari (surya) disebut jyotir uttamamam, devam adidevam (cahaya yang gemerlapan dan utama, terbesar di antara planet-planet di alam raya) dan dsebut juga sebagai surya atma jagatas tasthusas ca (sumber hidup di jagat raya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak).

5) Tahap kelima. Matahari, dulunya berasal dari gas panas (nebula) yang berpusar. Di tengah-tengah pusaran itu terbentuk matahari. Sedangkan di pinggirannya terjadi pendirnginan lokal yang lebih cepat dari pada pusatnya. Akibat pendinginan itu, maka terjadilah padatan-padatan, yang kemudian terpental akibat gaya putra (sentrifugal). Bagian yang terpental itu adalah cikal bakal planet-planet. Termasuk di dalamnya adalah planet bumi. Ini terjadi sekitar 5 miliar tahun yang lalu. Jadi bumi kita sebenarnya sudah berusia sangat tua. Alam semesta sendiri berumur lebih tua, diperkirakan 12 miliar tahun. Dan sampai sekarang, proses penciptaan alam tersebut belum berhenti. Setiap saat selalu ada bintang atau matahari yang tercipta. Sebagaimana juga selalu ada matahari dan bintang yang padam. Demikian pula selalu ada planet-planet yang tercipta dan yang mengalami kehancuran. Benda-benda langit jumlahnya hampir tak berhingga. Di alam semesta ini diperkirakan ada sekitar 10 pangkat 80 partikel yang bisa teramati oleh para peneliti. Dalam waktu yang bersamaan, alam semesta juga terus berkembang. Hal ini teramati melalui teleskop Hubble. Sampai kapankah alam semesta terus berkembang? Diperkirakan sampai 3 miliar tahun lagi. Setelah waktu itulah, diperkirakan alam akhirat akan dimulai oleh Allah (Mustofa, 2005:57-58). Uraian tahap kelima ini masih sama seperti terciptanya Brahmanda-Brahmanda di jagat raya ini dan total umur alam semesta dinyatakan dalam kosmologi Vedānta adalah: 100 tahun Brahma = 100 x 360 x 2 x 1 Brahma = 311 triliun dan 40 milir tahun dan pada setiap 311.040 miliar tahun terjadilah peleburan total atau keseluruhan. Setelah itu penciptaan dimulai lagi (Bhaktisvarupa, 2003:76).

6) Tahap keenam adalah tahap diciptakan oleh-Nya makhluk hidup di permukaan planet bumi hingga drama kehidupan yang digelar sampai kiamat nanti (Mustofa, 2005:58). Tentang bentuk kehidupan di bumi, kitab Padma Purāṇa menyatakan sebagai berikut. “Secara keseluruhan terdapat 8.400.000 bentuk kehidupan. 900.000 bentuk kehidupan di dalam air, dan 2000.000 bentuk pohon dan tumbuh-tumbuhan. Selanjutnya, terdapat 1.100.000 species binatang, serangga, dan reptil, dan 1.000.000 species burung. Akhirnya, terdapat 3.000.000 jenis hewan dan 400.000 species manusia” (Bhaktisvarupa, 2003:24).



Teori Big Vision

Teori Big Vision dikemukakan oleh Bhaktisvarupa Damodara Svami, yang ketika belum diinisiasi menjadi seorang rohaniwan bernama T. D. Singh, Ph.D. Menurutnya teori Big Vision adalah teori asal mula kehidupan dan penciptaan jagat raya yang terwujud berdasarkan Vedānta. Konsep sentral dari Big Vision ini adalah bahwa jagat raya mempunyai tujuan untuk membimbing para makhluk hidup pada jalan kebahagiaan yang sempurna. Karena merasa kagum terhadap benda-benda unik dan tidak dapat dipahami di dunia ini seperti hukum-hukum alam yang teratur (susunan kecerdasan, dan nilai unik dari konstanta fisika dari jagat raya. Banyak ilmuwan dan sarjana terkemuka merasa bahwa barangkali ada tujuan tertentu dari penciptaan jagat raya ini. Banyak orang berpikir bahwa jagat raya kita ini adalah sangat spesial dan memiliki suatu tujuan. Semua pernyataan ini secara tidak langsung mendukung model Big Vision Vedānta.

Menurut Vedānta, tujuan di balik manifestasi dunia material ini adalah untuk membawa para makhluk hidup yang sedang mengkhayal menuju kepada tingkat kebahagiaan yang sejati dengan membangkitkan bhakti, yoga, dan pengabdian di dalam diri setiap orang. Bhakti merupakan sifat pengabdian yang paling luhur yang menghubungkan individu dengan Jiwa Yang Tertinggi – Tuhan Yang Maha Esa dengan kerendahan hati yang paling dalam serta pelayanan yang murni. Dengan salah menggunakan kebebasan bertindak (memilih/kehendak bebas), makhluk hidup di jagat raya ini ingin mengambil peran sebagai Majikan Yang Tertinggi dan menikmati secara tidak terbatas dengan berusaha untuk memuaskan permintaan pikiran dan indera-indera yang tiada habis-habisnya. Ketika seseorang serius telah memahami kedudukannya yang salah dan telah mengalami bahwa ia tidak akan bisa mendapatkan kebahagiaan sejati secara material maka ia akan mulai bertanya, “Apakah kesalahan saya? Bagaimana caranya saya mendapatkan kebahagiaan sejati?” Maka ia akan berpaling kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memohon pertolongan. Pencarian untuk memahami makna kehidupan yang lebih dalam ini merupakan saat penetuan (titik balik) dari kehidupan suatu individu (Bhaktisvarupa, 2003:56).

Kosmologi Vedānta didasarkan pada Big Vision yang agung dari Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan kebahagiaan tertinggi kepada seluruh makhluk hidup. Demikianlah ia memberikan jawaban terhadap pertanyaan, “Mengapa jagat raya ini diciptakan?” Oleh karena itu Vedānta menjelaskan kosmologi ketuhanan. Dalam kitab suci Bhagavadgìtā (IX.10) Tuhan Yang Maha Esa menyatakan bahwa Beliau adalah sumber dari segala sesuatu. Orang mendapatkan sekilas prinsip-prinsip dasar Big Vision dengan mengamati beberapa gejala di dalam laboratorium kosmik, antara lain: (1) Hekakat kehidupan material yang bersifat sementara, (2) Evolusi kesadaran dan keunikan dari kehidupan manusia, (3) Tuntunan dari Paramatma, Tuhan Yang Maha Esa, dan (4) Elemen-elemen kosmik (Bhaktisvarupa, 2003:56-59).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, teori Big Vision dimaksudkan untuk membangun teori atau kosmologi yang berbasis ajaran ketuhanan, karena eksperimen manusia yang menggunakan daya nalar dan daya pikir sangat terbatas, sedang kitab suci yang merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa tidak diragukan lagi kebenarannya.

Demikianlah penciptaan jagat raya menurut Hindu dan respon terhadap teori-teori ilmiah baru tentang penciptaan alam semesta yang perlu lebih dikembangkan lagi dalam memahami proses penciptaan itu. Mengakhiri tulisan ini dikutipkan ulasan Deepak Chopra terhadap karya Rabindranath Tagore Pantai Keabadian, sebagai berikut.



“Tagore mengenal dirinya sendiri dengan kejernihan dan keyakinan yang luar biasa. Dia tahu bahwa rumah sejatinya adalah keabadian. Dia tidak pergi ke mana-mana setelah mati, sebab keabadian tidak memiliki masa lalu, masa sekarang atau pun masa depan. Ilmu pengetahuan telah membuktikan pendapat ini. Benda-benda materi memang terasa padat ketika disentuh, tetapi pada level kuantum 99,999 persen dari sebuah atom sebenarnya adalah ruang kosong dan kepadatan itu akan lebur menjadi sekumpulan energi yang memancar. Energi ini tidak pernah diciptakan dan tidak pernah dihancurkan. Energi ini menyala ke luar masuk dalam wilayah prekuantum sebanyak jutaan kali setiap detiknya. Itulah satu-satunya kelahiran dan kematian dalam arti yang nyata yang bisa kita alami. Tubuh kita sama sekali bukanlah kejadian yang unik sebab tubuh kita mati ratusan kali sebelum mata anda selesai membaca satu kata dalam kalimat yang sedangkan anda baca ini. Apa yang kita sebut kematian adalah sebuah kesalahan istilah, kematian adalah sekadar terhentinya proses muncul dan hilang. Setelah menghembuskan nafas yang terakhir, kita kembali kepada situasi di mana waktu tidak ada lagi. Apa yang kita sebut maut sebenarnya adalah terhentinya kelahiran dan kematian” (Chopra, 2004:19-20).



Om Santih Santih Santih Om


by: I Wayan Sudarma @ 5 Nop 2009

No comments: